28.2.09

Filsafat Politik Hannah Arendt


FILSAFAT POLITIK HANNAH ARENDT
(THE POLITICAL PHILOSOPHY OF HANNAH ARENDT)
Maurizio Passerin d’Enteves
Penerbit Qalam, Yogyakarta
Cetakan Pertama Mei 2003 - 355 halaman
Pustaka SemburatJingga 20090340000

Hannah Arendt dikenal sebagai salah satu pemikir politik internasional abad ke-20. Buku ini bertujuan merekonstruksi secara sistematis empat konsep filsafat politik utama yang melandasi karya-karya Arendt: modernitas, tindakan, penilaian, dan kewarganegaraan. D’Enteves menyajikan setiap konsep tersebut secara sistematis sambil melakukan penilaian-penilaian orisinal terhadap konsepsi modernitas Arendt. Tidak hanya itu, dengan kejelian kompetensi akademisnya, d’Enteves berhasil mengidentifikasi dua model tindakan dan dua konsepsi penilaian politik yang berbeda, serta relevansi teori politik Arendt dengan perdebatan kontemporer mengenai hakikat dan ruang lingkup kewarganegaraan yang aktif dan deliberasi demokratis bisa dijadikan sebagai kerangka terbaik untuk merumuskan hakikat agensi politik guna mengaktifkan kembali kehidupan publik dalam dunia modern.

Menurut George Kateb dari Princeton University, buku ini merupakan sebuah kajian yang mendalam atas karya-karya Hannah Arendt yang menghantarkan perspektif baru dan gagasan-gagasan segar bagi khazanah pemikiran politik dunia.

Sementara Seyla Benhabib, pakar Harvard University berpendapat bahwa buku ini merupakan sebuah pemaparan yang jernih dan tajam seputar tegangan-tegangan utama di dalam karya filsafat politik Hannah Arendt. Berbeda dari pembahasan pemikiran politik Arendt lain yang lebih sering memposisikannya sebagai nostalgia kerinduan terhadap polis Yunani masa lalu, di dalam buku ini d’Enteves menganalisis lebih pada aspek persistensi dan kompleksitas problem modernitas pemikiran politik Arendt. Buku ini ditulis secara lugas dengan argumen-argumen kokoh yang tidak diragukan lagi akan sangat bermanfaat bagi para pengkaji teori-teori politik mutakhir, baik pemula maupun tingkat lanjut.

Kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan d’Enteves atas karya-karya Hannah Arendt, dari mulai implementasi bentuk-bentuk demokrasi hingga kewarganegaraan yang bersifat partisipatoris, menunjukkan keeratan relevansi tulisan-tulisan Arendt dengan pemikiran politik dunia setelah jatuhnya totalitarianisme. Tulisan d’Enteves, harus diakui memiliki keistimewaan tersendiri; argumen, eksploitasi, dan penilaiannya terhadap pemikiran Arendt terartikulasi sedemikian jernih, berkualitas tinggi, dan sangat konsisten. “Inilah sebuah pintu masuk sophisticated yang akan menuntun Anda pada pemikiran politik Hannah Arendt,” demikian pendapat Simon Critchley dari University of Essex.
ANDRETHERIQA 130209

Kembalikan Indonesia !


KEMBALIKAN INDONESIA
(HALUAN BARU KELUAR DARI KEMELUT BANGSA)
PRABOWO SUBIANTO
Pustaka Sinar Harapan, April 2004 – 216 Halaman
Pustaka SemburatJingga 23120450000

Prabowo Subianto, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Letnan Jenderal purnawirawan ini pernah mengikuti berbagai pendidikan formal kemeliteran di Akabri Darat, Magelang (1970-1974), Counter Terorist Course GSG-9 Germany (1981), Special Forces Officer Course, Ft. Benning USA (1981).

Saat ini, Prabowo Subianto digadang sebagai calon presiden oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan sangat aktif bersosialisasi melalui media massa. Apalagi pada saat yang sama, ia juga menjadi Ketua Umum HKTI, Nelayan Indonesia, Pedagang Pasar Tradisional dan Ikatan Pencak Silat Indonesia.

Sosoknya yang tegas, dan kedekatannya dengan teman dan korps-nya, menjadikan ia figur yang sangat disegani, ditakuti bahkan tidak kurang yang membenci. Namun, terlepas dari itu semua, Prabowo merupakan tokoh muda yang memiliki potensi ledak yang cukup luar biasa, apalagi bila ia berkesempatan menjadi nahkoda negeri ini. Buku ini yang ditulisnya pada tahun 2004, menyiratkan kecakapan dan potensi tersebut.

“BANGSA INI BISA KELUAR DARI KEMELUTNYA HANYA JIKA BISA MEMANFAATKAN KEKAYAANNYA.”
MOHAMMAD HATTA


Akibat pengkhianatan para elitenya, Indonesia yang kita cintai sedang lepas dari jari-jemari tangan sebagian besar warganegaranya.

Negeri yang kaya raya ini tidak memberi manfaat kepada sebagian besar rakyatnya yang masih berkubang dalam kemiskinan dan pengangguran. Kita ibarat ayam yang sekarat di lumbung padi. Aset negeri kini banyak dikuasai bangsa asing. Kita menjadi kacung di rumah sendiri.

Sumberdaya dihamburkan secara percuma untuk menyumbang pengusaha besar yang tidak punya rasa nasionalisme, dan justru melarikan sumberdaya itu ke luar negeri.
Buku ini merupakan buah renungan seorang anak bangsa yang terpanggil untuk menelusuri problem yang menempatkan Indonesia dalam posisi paradoks ini – “Paradoks Indonesia”, negeri kaya tapi rakyatnya miskin, besar tapi tidak mandiri. Prabowo pun terpanggil untuk mencari solusinya.
ANDRETHERIQA 280209

The Pillars of The Earth


THE PILLARS OF THE EARTH
KEN FOLLETT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan Pertama 2006, 1131 halaman
Pustaka SemburatJingga 05120835000

Novel berlatar belakang sejarah Inggris abad kedua-belas yang kacau balau saat Maud dan Stephen memperebutkan takhta raja inggris setelah kematian Raja Henry Pertama.

Di tengah perang saudara ini, juga dalam bencana kelaparan dan perseteruan di kalangan gereja sendiri, Philip sang biarawan muda berjuang membangun katedral.

Perjuangan Philip makin berat karena ternyata kalangan gereja bukan hanya berseteru dengan sesamanya, tapi ikut campur juga dalam politik kerajaan.

Begitu banyak tantangan yang dihadapinya, sehingga Philip akhirnya ragu: apakah ia harus menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan agama untuk membangun katedralnya ? ANDRETHERIQA 030209

Rara Mendut


RARA MENDUT
Y.B. MANGUNWIJAYA
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008 – 802 halaman
Pustaka SemburatJingga 14070895000

Pertama kali saya membaca sastra Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1984, lewat novelnya Burung Burung Manyar. Jujur, saya kesangsem dengan tulisannya yang renyah itu. Makanya, ketika kuliah di Yogyakarta, saya berusaha untuk ‘berkenalan’ dengan beliau. Jadilah saya kerap hadir dalam berbagai kegiatan dan diskusi beliau yang ketika itu juga menjadi kesempatanku untuk kenal dengan Emha Ainun Najib, Amien Rais, Umar Kayam dan Romo Dick Hartoko.

Romo Mangun, begitu beliau diakrabi, adalah pengemban misi injili yang lebih memilih ‘praktek lapangan’ ketimbang berkotbah dan memimpin perayaan ekaristi. Praktek lapangan beliau yang paling mengesankan adalah membangunkan perkampungan bagi kaum girli (pinggir kali) di bantaran Kali Code yang membelah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Romo Mangun lahir di Ambarawa pada 6 Mei 1929. Menamatkan Pendidikan Filsafat dan Teologi di Seminarium Maius Sancti Pauli Yogyakarta (1959) dan Sekolah Tinggi Teknik Westfaelen di Aachen, Jerman (1966). Anggota Aspen Institute for Humanistic Studies di Aspen, Colorado, USA (1978). Beliau meninggal pada tahun 1999.

>>>^<<<

Novel Rara Mendut ini adalah trilogi yang dijilid dalam satu buku. Terdiri atas Rara Mendut (hal 1 – 279), Genduk Duku (280 – 501) dan Lusi Lindri (502 – 799). Pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 1983 dengan pemeran Meriam Bellina.


Rara Mendut, budak rampasan yang menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna demi cintanya kepada Pranacitra. Dibesarkan di kampung nelayan pantai utara Jawa, ia tumbuh menjadi gadis yang trengginas dan tidak pernah ragu menyuarakan isi pikirannya. Sosoknya dianggap nyebal tatanan di lingkungan istana di mana perempuan diharuskan bersikap serba halus dan serba patuh. Tetapi ia tidak gentar. Baginya, lebih baik menyambut ajal di ujung keris Sang Tumenggung daripada dipaksa melayani nafsu sang panglima tua.


Genduk Duku, sahabat Rara Mendut yang membantunya menerobos benteng Istana Mataram dan melarikan diri dari kejaran Tumenggung Wiraguna. Setelah kematian Rara Mendut dan Pranacitra, Genduk Duku menjadi saksi perseteruan diam-diam antara Wiraguna dan Pangeran Aria Mataram, putra mahkota yang kelak bergelar Sunan Amangkurat I dan sesungguhnya juga jatuh hati kepada Rara Mendut – perempuan rampasan yang oleh ayahnya dihadiahkan kepada panglimanya yang berjasa.


Lusi Lindri, anak Genduk Duku dipilih menjadi anggota pasukan pengawal Sunan Amangkurat I oleh Ibu Suri. Lusi Lindri menjalani kehidupan penuh warna di balik dinding-dinding istana yang menyimpan ribuan rahasia dan intrik-intrik jahat. Sebagai istri perwira mata-mata Mataram, ia tahu banyak – bahkan terlalu banyak. Semakin lama nuraninya semakin terusik melihat kezaliman junjungannya. Tiada pilihan lain. Bulat sudah tekadnya, baginya lebih baik mati sebagai pemberontak penentang kezaliman daripada hidup nyaman bergelimang kemewahan.


Kisah ini memang berlatar sejarah dan diangkat dari Babad Tanah Jawi, namun sajiannya disuguhkan secara populer dan disana sini tersisip kenakalan dan kejenakaan khas Rama Mangun.
ANDRETHERIQA 030209

27.2.09

Let Me Call You Sweetheart


LET ME CALL YOU SWEETHEART
MARY HIGGINS CLARK
c 1995 – Gramedia III, Mei 2003 – 449 halaman
Pustaka SemburatJingga 24020915000

Mary Hinggins Clark layak untuk dijuluki The Queen of Suspence, karena plot novel-novelnya memang selalu penuh kejutan. Plot ini menempatkan tokoh-tokoh utamanya – biasanya wanita-wanita biasa, wanita-wanita yang menyenangkan – berada dalam situasi yang luar biasa mengerikan. Yang unik, semua judul novelnya adalah judul lagu-lagu lama.

Beberapa tahun silam, ketika Clark baru menyelesaikan 7 novel, dan ada yang menjulukinya Agatha Christie era 80-an, Clark menanggapi, “Christie telah menulis 100 buku, jadi aku masih utang 93 lagi.” Buku Let Me Call You Sweetheart ini adalah bukunya yang ke-11 yang diluncurkannya ke pasaran.

Wanita yang pernah bekerja sebagai sekretaris dan pramugari ini mulai menulis pada usia 36 tahun, ketika suaminya meninggal dan dia terpaksa harus menghidupi sendiri kelima anak mereka yang masih kecil-kecil. Kini, di Amerika saja, novel-novelnya telah terjual lebih dari 25 juta eksemplar.

Clark yang keturunan Irlandia lahir dan dibesarkan di New York City. Kini ia bermukim di Saddle River, New Jersey.

“JANGAN TABURKAN DI ATAS TANAH INI MAWAR-MAWAR KESAYANGANNYA; MENGAPA TAKUTI DIA DENGAN SEIKAT MAWAR, YANG INDAHNYA TAK DAPAT DILIHATNYA? YANG WANGINYA TAK DAPAT DICIUMNYA?
EDNA ST. VINCENT MILLAY
“EPITAPH”


Kerry McGrath, jaksa penuntut umum yang pandai dan tegas, sedang dicalonkan menjadi hakim – jabatan yang sudah lama diinginkannya. Selain kesempatan berkariernya di dunia hukum lebih luas, Bob Kinellen – mantan suaminya – akan terpaksa mengakui kemampuannya.

Tiba-tiba rencana Kerry berantakan. Ketika menemani putrinya berobat ke Dr. Charles Smith, dokter spesialis bedah plastik ternama, Kerry bertemu dengan beberapa wanita yang berwajah sama. Wajah cantik menggoda yang mengingatkan nya kepada seseorang di masa lalu… Suzanne Reardon, korban pembunuhan sepuluh tahun yang lalu! Skip, suami Suzanne, mendekam di penjara karena diputuskan bersalah.

Ketika kasus itu – Sweetheart Murder Case – disidangkan, Kerry baru memulai kariernya di kantor kejaksaan. Kerry sangat kagum kepada kepiawaian atasannya, Frank Green, yang telah berhasil dalam kasus itu dan menjadi terkenal.

Mengapa wanita-wanita itu diberi wajah yang sama dengan orang yang sudah mati? Kerry bertekad membuka kembali kasus itu, walaupun tidak mendapat dukungan dari orang-orang yang terlibat – Frank Green, Bob Kenellen, Senator Jonathan Hoover, ayah angkat Kerry, dan terutama Dr. Smith. Bahkan salah seorang di antara mereka berniat menghentikannya. Kerry tetap bersikeras, dibantu oleh Geoff Dorso, pengacara yang telah melumerkan kebekuan hatinya. Ia tidak menyadari bahwa maut sedang mengintainya. ANDRETHERIQA 260209

18.2.09

Dracula


DRACULA
by: Bram Stoker
Peacock Books Publisher 2002
366 pages

Pustaka SemburatJingga 27090360000

Bram (Abraham) Stoker (1847-1912) was born near Dublin, the third of seven children. An unidentifield illness kept him almost bedridden until the age of seven. It remains a mystery as to whether the ailment was of physical or psychological origin. In his adole-scence, although Stoker remained shy and bookish, he was anything but sickly. Probably to make up for his earlier frailty, he was by this time developing into a fine athlete. At Trinity College, he was named University Athlete for his skill in soccer and the marathon walking event. He graduated with honours in Mathematics and looked forward to the task of making a living.

Young Stoker had always dreamed of becoming a writer, but his father had safer plans for him. Yielding to his father’s wishes, he followed him into a career of civil servant in Dublin Castle. During a ten-year period as civil servant he made acquaintance of the celebrated actor-manager Sir Henry Irving. In 1878 he left this occupation to become his touring manager and secretary and remained in this post for twenty seven years. He came to know all the major theatrical men and women of the age.

His first publication, The Duties of Clerks of Petty sessions in Ireland (1879) was followed by fifteen works of fiction, among them Dracula (1897). Stoker also wrote the two-volume Personal Reminiscences of Henry Iriving (1906).

Dracula, published in 1897, is the most famous of all tales of vampirism. Presented in diaries, letters and news items, this story of the bloodsucking vampire who preys on the living and can be repelled by garlic, crucifix and a wooden stake is both terrible and powerful.

Dracula – tall and thin, with his beaky nose, pointed ears, cruel and sensual features, and ‘peculiarly sharp white teeth’ protruding over his lips – has been the subject of many films, imitations and parodies. He sleeps in a lordly tomb in the vaults beneath his desolate castle. He has been dead for centuries, yet he may never die.
Long ago, Jonathan Harker had escaped the evil of Count Dracula and vowed to forget the horror he had witnessed. Now he must confront it once more if he is to stop the evil creature from claiming another victim – Jonathan’s beloved wife, Mina. Determined to save her, Harker joins a band of brave souls willing to face death in order to destroy Count Dracula – before it’s too late… ANDRE THERIQA 150209

15.2.09

Mossad


MOSSAD
TIPU DAYA YANG DIBEBERKAN OLEH MANTAN AGEN DINAS RAHASIA ISRAEL
Claire Hoy dan Victor Ostrovsky
Binarupa Aksara, Tangerang
Cetakan I, 2007 – 616 halaman
Pustaka SemburatJingga 09010949800

Claire Hoy (50) adalah salah seorang penulis terkenal Kanada, seorang jurnalis, kolumnis politik, dan penulis empat buku yang salah satunya menjadi buku terlaris pada tahun 1987, Friends in High Places yang berkisah tentang penyikapan perlindungan politik di dalam pemerintahan Perdana Menteri Brian Mulroney.

Victor Ostrovsky (40) lahir di Kanada dari ibu berkebangsaan Israel dan ayah keturunan Yahudi-Kanada, tetapi menghabiskan tahun-tahun pertumbuhannya di Holon, Israel. Pada usia 18 tahun, ia menjadi perwira termuda di Angkatan Bersenjata Israel. Sebagai ahli pengujian senjata, ia direkrut oleh Mossad dan menyelesaikan program pelatihan mereka yang ketat, dan menjadi seorang katsa atau case officer. Oleh karena dikecewakan oleh tujuan dan operasi organisasi tersebut, ia pun kembali ke Kanada.

Pertama kali Mossad memanggil, mereka menginginkan Victor Ostrovsky untuk unit pembunuh mereka, kidon. Ia menolak. Kesempatan berikutnya, ia setuju untuk mengikuti program pelatihan tiga tahun yang ketat untuk menjadi katsa, unit organisasi mata-mata Israel yang legendaris.

Buku ini mencatat rentetan pengalaman pribadinya dan riwayat rinci dari jajaran operasional Mossad yang luas dan menggetarkan di seluruh dunia.

Dikisahkan bagaimana Mossad melacak Yasser Arafat dengan merekrut sopir sekaligus pengawal pribadinya; bagaimana Mossad menolak memberikan informasi krisis tentang bunuh diri yang direncanakan di Beirut, yang menyebabkan kematian 241 marinir pemelihara perdamaian Amerika Serikat dan 58 pasukan para Perancis, bagaimana Mossad mengoperasikan sebuah departemen rahasia di Amerika Serikat; bagaimana Mossad memudahkan industri penyelundupan obat bius untuk membayar biaya yang besar untuk operasi gelapnya yang luas sekali.

Buku ini juga membawa kita ke dalam perjalanan yang mengesankan dari Beirut, di mana Mossad menyangkal mengetahui tentang keberadaan beberapa sandera Amerika, yang menyebabkan terjadinya skandal Iran-Kontra. Juga menyingkapkan untuk pertamakalinya bagaimana komunitas Yahudi di Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan dipersenjatai dan dilatih oleh Mossad di dalam unit ‘bela diri’ rahasia; memberi kisah tentang serangan yang berani atas instalasi nuklir Irak; dan dan memperlihatkan bagaimana kecemburuan internal menyebabkan lolosnya teroris keji, Carlos. ANDRETHERIQA 150209

Utage No Ato



AFTER THE BANQUET
(UTAGE NO ATO)
Yukio Mishima

Tuttle Publishing Singapore 1967
Twelfth Printing 2001 – 271 pages

Pustaka SemburatJingga 27090325000

Yukio Mishima, born in Tokyo on January 14, 1925, was probably the most spectacularly talented young Japanese writer to emerge after World War II. Mishima’s first novel was published in 1948, shortly after he graduated from Japan’s prestigious University of Tokyo School of Jurisprudence.

Upon leaving the university, he secured a highly coveted position in the Ministry of Finance, but he resigned after just nine months to devote himself fully to his writing. From the time he put pen to paper until his widely publicized death in 1970, he was a very prolific writer, producing some two dozen novels, more than 40 plays, over 90 short stories, several poetry and travel volumes, and hundreds of essays. His mastery won him many top literary awards, among them the 1954 Shinchosha Literary Prize for his novel The Sound of Waves.

Although critics are naturally divided on which of his many works is the ultimate masterpieces, Mishima himself regarded The Sea of Fertility to be his finest effort. He completed his last volume, , on the day of his death by ritual suicide on November 25, 1970. Mishima’s writings have been compared to those of Proust, Gide, and Sartre, and his obsession with courage mirrors Ernest Hemingway’s.

Today, more than three decades since his death, Yukio Mishima remains one of the pivotal figures of modern Japanese literature.

>>>^<<<
Kazu is successful and independent woman who is determined never to fall in love again. That is until Noguchi, a former government cabinet minister, walks into her life. Attracted despite herself by his aristocratic background and intellectual airs, they marry – even as the wide social and moral gulf between them seems certain to lead them to disaster. Determined for her own selfish reasons to resurrect his political career, she secretly funds his idealistic political campaign. When he finds this out, his high and unyielding moral sensibilities are offended. Kazu is forced to choose between his very narrow code of conduct and the independence and way of life she has come to cherish. The outcome reveals Mishima’s full range of power as a master storyteller and novelist.

When it was first published in 1960, After the Banquet was regarded as being very controversial because of the light Mishima cast on Japanese political, social and sexual life. As well as exploring the erotic and psychological issues Mishima has made his own, these book gives us keen insights into Mishima’s political and social beliefs and hopes for Japan. ANDRETHERIQA 150209

9.2.09

Dari Langit


DARI LANGIT
KUMPULAN ESAI TENTANG MANUSIA, MASYARAKAT, DAN KEKUASAAN

RIZAL MALLARANGENG
Pustaka SemburatJingga 09010960000

Rizal Mallarangeng lahir di Makassar 29 Oktober 1964. Beberapa waktu lampau ia kerap tampil di pariwara televisi untuk menyuarakan perlunya kaum muda tampil sebagai pemimpin negeri ini. Salah satu ucapan yang khas ia lontarkan adalah, di mana ada kemauan di sana ada jalan.

Bahana pencalonan diri sebagai presiden meredup bersamaan dengan kesadarannya bahwa secara logis ia belum mampu melawan status-quo, terutama dari sisi modal. Betapapun, ia telah memberi warna, bahwa memang ada yang salah dalam terapan politik kita, mengapa selalu saja yang layak tidak mampu untuk bisa muncul sebagai pemimpin.

Berikut adalah cuplikan tulisan Rizal Mallarangeng pada 22 Juli 2008 yang diberi label “Surat Buat Semua”, bagian terakhir buku “Dari Langit” yang menurut hemat saya bisa memberi gambaran seperti apa jalan pikiran Rizal, yang sekaligus menjadi soko guru seluruh rangkaian tulisannya di buku tersebut.

>>>^<<<


Saya ingin mengucapkan terimakasih atas perhatian dan simpati Anda semua, baik yang berada di tanah air maupun yang di luar negeri. Dalam waktu singkat, lewat Facebook, milis-milis internet, maupun media massa konvensional, begitu banyak yang memberi komentar, salam persahabatan, dukungan, pertanyaan, keraguan, hingga kritik yang tajam terhadap saya.


Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa alasan utama bagi saya untuk tampil sekarang adalah untuk memberi alternatif baru dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Sebenarnya, soal ini bukanlah soal saya sebagai pribadi, tetapi persoalan sebuah generasi dan sebuah bangsa yang harus terus bergerak maju. Sejak 10 tahun terakhir, pilihan-pilihan kepemimpinan nasional tidak banyak berubah. Gus Dur dan Amien Rais tampaknya masih ingin ikut pemilihan presiden tahun depan, mendampingi Presiden SBY dan Wapres Kalla serta Megawati. Begitu juga Jenderal (purn.) Wiranto dan Letjen (purn.) Prabowo. Mungkin Sultan Hamengkubuwono X dan Letjen (purn.) Sutiyoso juga akan turut serta.


Saya menghormati tokoh-tokoh senior tersebut. Tapi apakah pilihan kepemimpinan nasional harus berkisar hanya di seputar mereka, sebagaimana yang terjadi setelah Soeharto lengser? Apakah di Indonesia terjadi stagnasi dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, sehingga wajah-wajah baru tidak mungkin muncul sama sekali. Jika di Amerika Serikat muncul Obama (47 th) dan di Rusia ada Medvedev (44 th), mengapa kita tidak? Bukankah Republik Indonesia sebenarnya dipelopori oleh para tokoh yang saat itu berusia muda, seperti dr Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir? Pemikiran seperti itulah yang memberanikan saya untuk tampil sekarang.


Dengan segala kelemahan yang ada, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukannya. Saya bukan menteri atau mantan menteri. Saya bukan ketua umum partai, bukan presiden atau mantan presiden, bukan jenderal berbintang, bukan anak proklamator, bukan pejabat tinggi, bukan bekas panglima TNI, bukan pula orang kaya-raya atau anak orang kaya-raya. “Rizal,” kata kawan-kawan dekat saya, “You are a bit crazy. No, damn crazy!”


Bahkan bukan hanya kawan-kawan saya saja, bekas guru besar saya di Columbus, AS, yang sangat saya sayangi pun, Prof. Bill Liddle, berkomentar lirih, “The time is not yours yet. My dear Celli (nama kecil saya), you don’t have any chance whatsoever.”


Terhadap semua itu, saya hanya bisa menjawab, “Mungkin Anda benar.” Semboyan kampanye saya pun bunyinya rada mirip, if there is a will, there is a way. Pada tahap awal ini, yang ada hanyalah kehendak, kemauan, keberanian, dan hampir tidak ada lagi yang lainnya.


Terhadap Bill Liddle saya sempat membalas emailnya dengan kalimat ini: Pak Bill, the “will” is here, and I am working out the “way”. Dengan wacana akan pilihan baru tersebut, siapapun orangnya, kita bisa mengatakan kepada dunia, bahkan kepada diri kita sendiri, we are a country on the move. Zaman berubah, Indonesia berubah. Zaman bergerak, Indonesia bergerak. Kita telah memecahkan glass-ceiling yang membatasi kita selama ini dalam membicarakan kemungkinan baru tersebut. BAT310109

8.2.09

CIA


KAMI HANYA MENUNGGANGI OMBAK ITU KE PANTAI
(Tim Weiner: Membongkar Kegagalan CIA hal 329-334)

CIA mengingatkan Gedung Putih bahwa hilangnya pengaruh Amerika di Indonesia akan membuat kemenangan di Vietnam tak berarti. Dinas bekerja keras untuk menemukan pemimpin baru bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia itu.

Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965, sebuah gempa politik pecah di Indonesia, tujuh tahun setelah CIA berusaha menggulingkan Presiden Sukarno. Manuver Sukarno mendekat ke kiri terbukti menjadi kesalahan fatal. Setidaknya lima jenderal dibunuh pada malam itu, termasuk kepala staf angkatan darat. Radio pemerintah mengumumkan bahwa sebuah dewan revolusioner telah mengambil alih kekuasaan untuk melindungi presiden dan bangsa dari CIA.

Stasiun di Jakarta memiliki segelintir kawan di militer atau pemerintah. Yang pasti, stasiun CIA memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis (penganut aliran Karl Marx) berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno di Moskow dan menteri perdagangannya.


Setelah terlibat dalam perseteruan permanen dengan presidennya pada tahun 1964, Malik bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta. McAvoy adalah operator rahasia yang selama satu dekade sebelumnya telah membantu merekrut seorang perdana menteri masa depan bagi Jepang, dan dia datang ke Indonesia dengan tugas meyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno.

“Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik,” ujar McAvoy dalam sebuah wawancara pada tahun 2005. “Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut.” Seorang kawan mereka telah memperkenalkan mereka, yang menguntungkan bagi McAvoy; perantara itu adalah seorang pengusaha Jepang di Jakarta dan mantan anggota sebuah partai komunis di Jepang. Setelah perekrutan Malik oleh CIA, Dinas mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasia buat mendorong sebuah baji politis di antara kelompok kiri dan kanan di Indonesia.


CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto. Malik memanfaatkan hubungannya dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan duta besar Amerika yang baru di Indonesia Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.

Pada pertengahan bulan Oktober 1965, Malik mengirimkan seorang pembantunya ke kediaman perwira politik senior kedutaan, Bob Martens, yang pernah bertugas di Moskow ketika Malik juga bertugas di sana. Martens menyerahkan kepada utusan Malik itu sebuah daftar yang tidak bersifat rahasia, yang berisi nama 67 pemimpin PKI. Dua minggu kemudian, Duta Besar Green dan kepala stasiun CIA di Jakarta, Hugh Tovar, mulai menerima laporan-laporan dari tangan kedua tentang semua pembunuhan dan kekejian yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tempat ribuan orang dibantai oleh begitu banyak kelompok warga sipil atas persetujuan Jenderal Soeharto.


McGeorge Bundy dan saudaranya Bill, memutuskan bahwa Soeharto dan Kap-Gestapu layak mendapat bantuan Amerika. Duta Besar Green, setelah berunding dengan Hugh Tovar, mengirimkan pesan telegram kepada Bill Bundy, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Adam Malik:

Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp. 50 juta (= $ 10.000) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan Kap-Gestapu. Kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk militer ini masih memikul kesulitan yang diakibatkan oleh semua upaya represif yang sedang berlangsung…. Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti-PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan angkatan darat. Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap operasi “tas hitam” yang telah kita lakukan.


Sebuah gelombang besar kerusuhan mulai meningkat di Indonesia. Jenderal Soeharto dan gerakan Kap-Gestapu telah membunuh begitu banyak orang. Duta Besar Green kemudian memberi tahu Wakil Presiden Hubert H. Humphrey dalam sebuah pembicaraan di kantor wakil presiden di Gedung Capitol bahwa “300.000 sampai 400.000 orang telah dibantai” dalam “sebuah pertumbuhan darah besar-besaran.”


Duta Besar Green mengoreksi perkiraan angka kematian di Indonesia dalam sebuah rapat rahasia Komite Hubungan Luar Negeri Senat. “Saya kira kita harus menaikkan taksiran itu barangkali mendekati angka 500.000,” ujarnya dalam sebuah kesaksian yang dinyatakan deklasifikasi pada bulan Maret 2007. “Tentu saja, tidak ada orang yang tahu pasti. Kita hanya bisa menilainya berdasarkan keadaan semua desa yang telah menjadi sepi.”

Ketua komite itu, Senator J. William Fulbright dari Arkansas, mengajukan pertanyaan berikut dengan sungguh-sungguh dan langsung.
“CIA tidak punya peran apa-apa dalam kudeta itu?”
“Maksud Anda tahun 1958?” ujar Green. Dinas rahasia telah menjalankan kudeta tersebut, tentu saja, dari awal yang buruk dan ceroboh sampai ke akhir yang pahit. “Saya khawatir tidak bisa menjawab,” ukar Duta Besar. “Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi.”


Sesaat yang penuh resiko membangkitkan suasana yang menegangkan yang hampir saja menabrak dan membongkar sebuah operasi yang mendatangkan malapetaka dan membawa konsekuensi yang fatal –tetapi Senator berhenti mengejar pertanyaan itu.

Lebih dari satu juta tahanan politik dipenjarakan oleh rezim baru ini. Beberapa tahanan tetap berada di dalam penjara selama beberapa dasawarsa. Beberapa lagi meninggal di dalam tahanan. Indonesia tetap menjadi pemerintahan diktator militer sampai berakhirnya perang dingin. Konsekuensi dari penindasan itu masih bergema sampai hari ini.


Amerika Serikat telah berupaya menyangkal selama 40 tahun dengan menyatakan tidak punya kaitan apa-apa dengan pembantaian yang dilaksanakan atas nama antikomunisme di Indonesia. “Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu,” ujar Marshall Green. “Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.”
BAT 260109